• An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
DIINUL-HAQ (Agama Yang Benar)   -   TATA CARA WUDHU   -   40 Majlis bersama Rasulullah   -   MERAIH HIDUP BAHAGIA

Hukum Ucapan 'Fulan Mati Syahid'

Hukum Ucapan 'Fulan Syahid'

            Pertanyaan: Apakah hukum ucapan 'Fulan Syahid?

            Jawaban: Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa syahadah (persaksian) untuk seseorang bahwa dia seorang syahid ada dua bagian:

            Salah satunya: bahwa dikaitkan dengan sifat seperti dikatakan: Setiap orang yang terbunuh fi sabilillah adalah syahid, setiap orang yang terbunuh karena membela hartanya maka ia adalah syahid, barangsiapa yang meninggal karena penyakit tha'un maka ia adalah syahid dan semisal yang demikian itu. Ini hukumnya boleh sebagaimana tersebut dalam nash, karena engkau bersaksi dengan sesuatu yang dikabarkan oleh Rasulullah r. Yang kami maksudkan 'boleh' bahwa ia tidak dilarang, sekalipun bersaksi atas hal itu adalah wajib karena  membenarkan (mempercayai) berita dari Rasulullah r.

            Kedua: bahwa persaksian itu dikaitkan untuk seseorang, seperti engkau katakan pada seseorang secara khusus bahwa ia seorang syahid, maka ini tidak boleh kecuali bagi orang yang Nabi r bersaksi baginya atau umat sepakat bersaksi untuknya dengan hal itu. Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan satu bab yang berjudul: 'Tidak boleh dikatakan fulan syahid'.  Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fath 6/90: 'Maksudnya memastikan hal itu kecuali jika dengan wahyu. Seolah-olah ia mengisyaratkan kepada hadits Umar t bahwa ia berkhuthbah: 'Kamu mengatakan dalam peperangan kamu 'fulan syahid dan fulan meninggal secara syahid' barangkali ia telah membebani tunggangannya. Ketahuilah, janganlah kamu mengatakan hal itu, akan tetapi katakanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah r 'Barangsiapa yang mati atau terbunuh fi sabililllah maka ia seorang syahid."[1] Hadist hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad, Sa'id bin Manshur, dan selain keduanya dari jalur Muhammad bin Sirin, dari Abul Ajfa', dari Umar t.

            Dan karena bersaksi dengan sesuatu tidak terjadi kecuali berdasarkan pengetahuan dengannya. Dan syarat manusia menjadi syahid bahwa ia berperang agar kalimah Allah I menjadi tinggi. Ia adalah niat dalam hati yang tidak ada jalan mengetahuinya. Karena inilah Nabi r bersabda tentang hal itu:

مَثَلُ اْلمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ –وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيْلِهِ...

"Perumpamaan orang yang berjihad fi sabililllah –dan Allah I yang paling mengetahui dengan orang yang berjihad di jalan-Nya…"[2]

Dan sabdanya r:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَيُكْلَمُ أَحَدٌ فِى سَبِيْلِ اللهِ –وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيْلِهِ- إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالرِّيْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ

"Demi Allah I yang diriku berada di tangan-Nya, tidak terluka seseorang di jalan Allah I -dan Allah paling mengetahui dengan orang yang terluka di jalan-Nya- melainkan ia datang pada hari kiamat, warnanya adalah warna darah dan aromanya adalah aroma minyak kesturi." [3] diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah t.

Akan tetapi orang yang dari lahirnya tampak baik maka sesungguhnya kita mengharapkan hal itu, tidak bersaksi baginya dengannya dan tidak berburuk sangka dengannya. Maka apabila ia terbunuh di jalan Allah I, ia dikuburkan dengan darahnya bersama pakaiannya tanpa dishalatkan. Dan jika ia termasuk jenis syahid yang lain, maka sesungguhnya ia dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.

            Jika kita bersaksi untuk seseorang secara tertentu bahwa ia seorang syahid hal itu memberikan konsekuensi bahwa kita bersaksi surga untuknya. Dan ini menyalahi keyakinan dalam mazhab Ahlus sunnah. Maka sesungguhnya mereka tidak bersaksi dengan surga kecuali bagi orang yang Nabi r bersaksi baginya dengan sifat atau perorangan. Dan sebagian dari mereka berpendapat boleh bersaksi dengan hal itu bagi orang yang umat sepakat memuji atasnya, dan inilah pendapat syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

            Dengan ini jelas bahwa tidak boleh bersaksi untuk seseorang secara khusus bahwa ia seorang syahid kecuali dengan nash atau kesepatakan ulama/umat, akan tetapi apabila secara lahir dia orang yang baik maka sesungguhnya kita mengharapkan hal itu untuknya, seperti yang sudah dijelaskan, dan ini sudah cukup pada tempatnya dan ilmu sebenarnya ada pada Sang Penciptanya I.

Syaikh Ibnu Utsaimin – Majmu Fatawa wa Rasail (3/115-117).



[1]  Ahmad 1/40-48, an-Nasa`I 3351, Ibnu Hibban 4620, Sa'id bin Manshur 595,596,597, 2547, Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 10355, al-Humaidi dalam musnad-nya 23, adh-Dhiya' al-Maqdisi dalam 'al-Mukhtarah' 291, 292, 294, 295, al-Hakim 2/109, 175 (2521, 2725) dan menshahihkannya dan disetujui oleh az-Zhahabi.

[2]  Al-Bukhari 2728.

[3] Al-Bukhari 2803 dan Muslim 1876 dengan semisalnya.

Masuk